KEIKHLASAN YANG MENGALIR

KEIKHLASAN YANG MENGALIR
Sungai Hajoran Dalam Kawasan Taman Nasional Batang Gadis

Cari Blog Ini

Senin, 26 April 2010

SOCIAL FORESTRY BERBASIS KONSERVASI




Kawasan Taman Nasional Alas Purwo merupakan kawasan pelestarian alam dengan luas 43.420 Ha, ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 283/Kpts-II/92 tanggal 26 Pebruari 1992, yang terletak di paling Ujung Timur - Selatan Pulau Jawa. Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal PHPA Nomor : 51/Kpts/DJ-VI/1987 tanggal 12 Desember 1987 tentang Penunjukan Mintakat pada Taman Nasional Baluran wilayah Banyuwangi Selatan (sekarang TN. Alas Purwo) seluas 43.420 Ha terdiri dari mintakat inti seluas 17.200 Ha, mintakat rimba seluas 24.767 Ha, mintakat pemanfaatan seluas 250 Ha, dan mintakat penyangga seluas 1.203 Ha. Dimana mintakat penyangga seluas 1.203 Ha berdasarkan Surat Keputusan Dirjen PHPA No 69/Kpts/DJ-VI/88 tanggal 26 Oktober 1988 dalam pelaksanaan pengelolaannya diserahkan kepada Perum Perhutani.

Sekarang ini berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal PHKA Nomor : SK.26/IV-KK/2007 tanggal 19 Pebruari 2007 tentang Revisi Zonasi Taman Nasional Alas Purwo, kawasan seluas ± 43.420 Ha terdiri dari zona inti seluas ± 17.150 Ha, zona rimba seluas ± 24.207 Ha, zona rehabilitasi seluas ± 620 Ha, zona pemanfaatan seluas ± 660 Ha dan zona tradisional seluas ± 783 Ha. Dengan keputusan tersebut mintakat penyangga seluas 1.203 Ha terbagi menjadi zona rehabilitasi seluas ± 620 Ha (merupakan areal mintakat penyangga yang mengalami penjarahan pada tahun 1999-2000) dan zona tradisional seluas ± 583 Ha (merupakan areal mintakat penyangga yang tidak mengalami penjarahan).

Memasuki era reformasi pada tahun 1998 – 2000, dimana pada saat itu marak kegiatan penjarahan hutan di berbagai daerah, maka mintakat penyanggapun tak luput dari aksi tersebut. Seluas ± 600 Ha hutan jati di mintakat penyangga telah habis dijarah. Sejak tahun 2001, Perum Perhutani selaku pengelola mintakat penyangga melakukan kegiatan reboisasi di sebagian besar lahan bekas hutan yang dijarah dengan tanaman jati melalui pola Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).

Home Range dan Jalur Lintasan Satwa

Mintakat penyangga seluas 1.303 Ha yang memanjang dari Utara – Selatan yang terletak di bagian barat kawasan Taman Nasional Alas Purwo merupakan daerah yang sangat strategis untuk benteng pertahanan kawasan. Hal ini dikarenakan semua desa/perkampungan berada di sebelah barat kawasan taman nasional.

Sebelum terjadinya penjarahan pada tahun 1998 – 2000, mintakat penyangga merupakan daerah penting bagi satwa yaitu sebagai wilayah jelajah (home range), daerah kekuasaan (teritori) dan jalur lintasan. Dari hasil pengamatan, terdapat beberapa satwa yang menggunakan mintakat penyangga sebagai daerah penting yaitu Macan tutul (Panthera pardus), Kijang (Muntiacus muntjak), Rusa (Cervus timorensis), Merak (Pavo muticus), Ayam hutan (Gallus gallus, Gallus varius) dan Banteng (Bos javanicus). Satwa-satwa tersebut sering terlihat atau ditemui dengan beberapa aktivitasnya sebelum terjadinya penjarahan di mintakat penyangga.

Khusus satwa Banteng (Bos javanicus) mintakat penyangga telah menjadi jalur lintasan tradisional sejak dahulu disebabkan akses pakan berupa rumput . Jalur lintasan tradisional tersebut sepanjang ± 25 Km, memanjang dari Selatan ke Utara. Di bagian Selatan terdapat padang rumput buatan ” Sadengan” sampai di bagian Utara yang merupakan bekas padang rumput buatan ”Payaman” yang sekarang telah berubah menjadi hutan sekunder. Jalur lintasan di mintakat penyangga merupakan jalur lintasan yang mudah karena topografi yang datar dan vegetasi yang relatif terbuka karena merupakan vegetasi hutan tanaman.

Disepanjang lintasan tradisional tersebut juga terdapat daerah-daerah transit dan tujuan utama yang sangat penting karena menyediakan pakan rumput dan sumber air minum yang melimpah. Daerah-daerah tersebut berada di kawasan hutan produksi Perum Perhutani yaitu Blok Hutan Sumbergedang, Blok hutan Kepuh Ngantuk, Blok Hutan Tritis, Blok Hutan Rowoguling dan Blok Hutan Rowo Ketangi.

Efek Penjarahan dan Penanaman Vegetasi Tanaman di Mintakat Penyangga

Terjadinya penjarahan hutan yang tak terelakkan di era reformasi pada tahun 1998 – 2000 di sebagian mintakat penyangga telah merubah tutupan lahan yang semula tertutup vegetasi jati menjadi lahan yang terbuka. Lahan terbuka ± 600 Ha, menjadi incaran masyarakat yang memang lapar akan lahan pada saat itu. Program PHBM yang baru diluncurkan dan minimnya sosialisasi menyebabkan masyarakat menafsirkan program tersebut secara bebas. Kelompok-kelompok masyarakat membuat konsep-konsep pengelolaan hutan ”ala mereka” yang jauh dari pola teknis kehutanan. Yang ada dalam konsep mereka adalah bagaimana memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memaksimalkan lahan yang akan mereka garap.

Dengan mempertimbangkan situasi masyarakat maka pada tahun 2001, Perum Perhutani selaku pengelola mintakat penyangga melakukan reboisasi di lahan bekas penjarahan dengan pola PHBM. Sejak saat ini masuklah masyarakat pesanggem dengan jumlah ratusan kepala keluarga di mintakat penyangga tanpa dibekali pengetahuan dan pemahaman tentang konservasi. Akibatnya adalah banyak aktivitas pesanggem yang bertentangan dengan kepentingan konservasi seperti penebangan kayu di TN, penyerobotan lahan dengan memindahkan atau menghilangkan pal, perburuan satwa, mendirikan pondok setengah permanen dan memelihara hewan piaraan/domestik (anjing, kucing, ayam) dalam kawasan hutan.

Walaupun secara ekonomi program tersebut sangat menguntungkan bagi masyarakat tetapi sangat berdampak negatif terhadap aktivitas satwa dan hilangnya home range satwa, daerah kekuasaan satwa dan jalur lintasan satwa. Kehadiran aktivitas manusia dalam mengelola lahan akan berpotensi memunculkan konflik kepentingan antara manusia dan satwa. Dalam situasi demikian dan dengan kelebihan manusia dalam akal maka satwalah yang akan menjadi mahkluk yang kalah.

Penanaman tanaman bernilai kayu di mintakat penyangga sebaiknya dapat dievaluasi kembali. Prinsip yang perlu ditekankan bagi pengelola mintakat penyangga TN. Alas Purwo adalah prinsip tidak melakukan penebangan kayu dan prinsip untuk tetap mempertahankan habitat satwa liar. Terjadinya penjarahan pada tahun 1998 – 2000 di mintakat penyangga adalah sebuah pengalaman dan pelajaran yang sangat penting sebagai bahan evaluasi dalam pengelolaan ke depan. Mungkin banyak faktor yang menyebabkan terjadinya penjarahan, selain permasalahan sosial politik, juga disebabkan faktor teknis kehutanan. Salah satu faktor teknis kehutanan adalah jenis vegetasi tanaman yang ditanam di mintakat penyangga. Sebelum penjarahan jenis tanaman yang ada di mintakat penyangga adalah tanaman bernilai kayu (Jati, Mahoni, Sonokeling) sehingga tanaman inilah yang membuka kesempatan penjarahan/penebangan liar. Merubah jenis tanaman dengan jenis tanaman yang tidak bernilai kayu di zona rehabilitasi merupakan sebuah solusi yang perlu dipertimbangkan. Dengan demikian diharapkan tidak akan memancing untuk ditebang/tertebang.

Mintakat penyangga TN. Alas Purwo yang saat ini menjadi Zona rehabilitasi dan Zona Tradisional adalah merupakan bagian integral/tidak terpisahkan dari sistem pengelolaan taman nasional secara keseluruhan. Kerusakan di mintakat ini menjadi sebuah ancaman terhadap keutuhan dan kelestarian TN. Alas Purwo.

Program Social Forestry Berbasis Konservasi

Dengan munculnya berbagai permasalahan yang ada dalam pengelolaan mintakat penyangga TN. Alas Purwo, maka perlu dicarikan alternatif model pengelolaannya. Oleh karena mintakat penyangga merupakan bagian tak terpisahkan dari taman nasional maka perlu mengedepankan prinsip-prinsip konservasi dalam pengelolaannya. Terdapat tiga embanan dalam kegiatan konservasi yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa berserta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Mintakat penyangga yang merupakan benteng pertahanan harus mampu untuk melindungi mintakat/zona lain taman nasional. Juga yang perlu diperhatikan adalah dapat memberikan kontribusi secara ekonomi bagi masyarakat di sekitar kawasan secara berkelanjutan .

Pada tahun 2003, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ”P’SMART” peduli akan permasalahan pengelolaan di mintakat penyangga tersebut. Bekerjasama dengan Balai Taman Nasional Alas Purwo dan LSM ”Binawana Lestari” membuat sebuah program Social Forestry Berbasis Konservasi.

Program Social Forestry Berbasis Konservasi merupakan sebuah program yang memadukan program social forestry secara umum dengan muatan konservasi terutama penerapannya pada kawasan suaka alam (Cagar Alam, Suaka Margasatwa) dan kawasan pelestarian alam (Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya) yang berbatasan langsung dengan Hutan Produksi, Perkebunan, Tanah Milik. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah dengan pendekatan Areal Multi Fungsi (AMF). Dengan pendekatan ini diharapkan hutan yang tercipta akan dapat mengembalikan fungsi ekologi, klimatologi, hidrologi, ekonomi dan sosial. Secara ekologi akan memulihkan home range satwa, daerah kekuasaan satwa, jalur lintasan satwa, tempat makan-minum satwa dan tempat berkembang satwa yang telah hilang. Secara klimatologi dan hidrologi akan tercipta iklim mikro yang stabil dan memperbaiki tata air dalam tanah. Secara ekonomi dan sosial akan mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hayati di dalam kawasan taman nasional dan terbentuknya lembaga-lembaga ekonomi-sosial masayarakat di sekitar kawasan.

Pada tahun 2003 telah terealisasi pembangunan plot percontohan/demplot seluas 1 (satu) hektar. Di dalam demplot ditanam berbagai jenis tanaman penghasil hasil hutan non kayu terdiri dari jenis tanaman serbaguna (MPTS) dan jenis tanaman berkhasiat obat. Beberapa jenis tanaman yang ditanam terdapat juga dalam kawasan taman nasional seperti kemiri, melinjo, kluwak/pakem, kedaung, cabe jawa, bambu benel dan bambu wuluh/anyam. Sedangkan jenis tanaman lain adalah nangka, mente, alpukat, bambu jawa dan bambu petung. Dengan menanam berbagai jenis tanaman tersebut, diharapkan masyarakat di sekitar kawasan taman nasional dapat memanfaatkan/memanen buah/hasil hutan non kayu secara bergantian menurut musim berbuah tanaman, sepanjang tahun secara lestari dan berkelanjutan.

Penutup

Pengelolaan di Zona Rehabilitasi Taman Nasional Alas Purwo perlu diupayakan dengan mengedepankan prinsip-prinsip konservasi dengan melibatkan berbagai pihak yaitu masyarakat di sekitar kawasan, Perum Perhutani, Pemerintah Daerah Banyuwangi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) secara kolaboratif. Kehadiran Demplot Social Forestry dengan pendekatan Areal Multi Fungsi (AMF) dapat dijadikan salah satu rujukan pemecahan dalam pengelolaan mintakat penyangga TN. Alas Purwo.


Tulisan oleh :

Kelompok Binawana Lestari (Banyuwangi, Jawa Timur)

Heru Sutmantoro (Penasehat Kelompok )

A. Sulaimi Candra (Ketua Kelompok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar